Sejarah Desa Warungering
Sejarah Desa Warungering tidak lepas dari sosok Ki Kerto. Ia adalah orang pertama yang menetap di daerah yang sekarang dikenal sebagai Desa Waru. Nama "Waru" diberikan karena wilayah tersebut pada waktu itu dipenuhi oleh pohon waru, sehingga Ki Kerto menamakan tempat tinggalnya dengan nama Desa Waru.
Setelah Ki Kerto wafat, ia meninggalkan banyak pengikut. Jumlah penduduk yang terus bertambah membuat situasi di desa menjadi cukup mengkhawatirkan. Masyarakat pada saat itu mulai menyadari bahwa setiap kelompok manusia membutuhkan seorang pemimpin untuk mengatur dan memenuhi kebutuhan hidup mereka. Maka, pada suatu hari, dipilihlah seorang tokoh yang dianggap cakap dan mampu memimpin, yaitu Ki Jomito, yang menjabat sebagai bau (pemimpin desa) dari tahun 1826 hingga 1876. Karena kepemimpinannya yang kuat, penduduk desa semakin bertambah banyak. Ia kemudian membuka wilayah baru di sebelah timur desa berupa lahan persawahan, yang kemudian berkembang menjadi desa kecil bernama Desa Waru. Ki Jomito dikenal bijaksana dan disegani oleh para pemimpin desa sekitar.
Setelah Ki Jomito, kepemimpinan desa dilanjutkan oleh Reso Sentono dari Desa Tulung, yang menjabat pada tahun 1876–1884. Namun, selama masa jabatannya, ia tersangkut masalah dengan pihak kepolisian dan memilih untuk mengundurkan diri.
Kemudian, terpilihlah Suro Semito, warga asli Desa Waru, yang memimpin dari tahun 1884 hingga 1916. Ia menjabat selama 27 tahun, hingga pada akhirnya pemerintah kolonial mengumumkan bahwa Desa Waru akan digabungkan dengan Desa Ngering di sebelah utara. Akibat kebijakan ini, Suro Semito diberhentikan dari jabatannya.
Sebagai pengganti, diangkatlah Joyo Seno, seorang tokoh yang bijaksana, yang menjabat pada tahun 1916–1925. Pada masa pemerintahannya juga terjadi penggabungan antara Desa Warungering dengan Tambakoso, dan pusat pemerintahan tetap berada di Warungering. Selama sembilan tahun memimpin, Joyo Seno akhirnya wafat pada tahun 1925.
Setelahnya, Sastro Diharjo menjabat sebagai kepala desa dari tahun 1925 hingga 1939. Ia memimpin selama 14 tahun hingga meninggal dunia pada tahun 1939.
Seiring dengan wafatnya para pemimpin desa sebelumnya, situasi di Warungering sempat dilanda kekisruhan karena belum ada pengganti yang pasti. Akhirnya, diadakan pemilihan kepala desa dan H. Djaelan terpilih melalui suara terbanyak dari masyarakat. Ia menjabat selama 51 tahun sejak tahun 1939 hingga 1990. Pada masa Orde Baru, sistem pemerintahan desa mengalami perubahan melalui penerapan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979, yang mengatur masa jabatan kepala desa selama dua periode, masing-masing delapan tahun.
Tahun 1990, dilakukan pemilihan kepala desa, dan Bapak Sardi terpilih untuk masa jabatan delapan tahun. Pada tahun 1999, diadakan kembali pemilihan kepala desa, dan Bapak Muntahab terpilih. Ia memimpin dari tahun 1999 hingga 2006. Kemudian pada tahun 2006, Bapak Muntahab kembali terpilih dan menjabat hingga 2013.
Setelah masa jabatan Bapak Muntahab berakhir, diadakan pemilihan kepala desa dan Bapak Mediyanto terpilih untuk masa jabatan 2013–2019. Pada pemilihan berikutnya, ia kembali dipercaya masyarakat dan terpilih untuk periode 2019–2025, dan hingga kini masih menjabat sebagai Kepala Desa Warungering.
Batas Desa Warungering
Luas Wilayah
Sawah teknis: 109,462 Ha
Sawah tadah hujan: 28,330 Ha
Pekarangan: 28,000 Ha
Tegalan: 43,373 Ha
Lain-lain: 36,730 Ha
Batas Wilayah
Secara administratif, Desa Warungering berbatasan dengan:
Sebelah utara: Desa Jatidrojog, Kecamatan Kedungpring
Sebelah timur: Desa Kandangrejo, Kecamatan Kedungpring
Sebelah selatan: Desa Dradahblumbang, Kecamatan Kedungpring
Sebelah barat: Desa Klen, Kecamatan Kedungpring
Pembagian Dusun
Desa Warungering terbagi menjadi tiga dusun, yaitu:
Dusun Waru
- Terdiri dari 3 RW dan 9 RTDusun Ngering
- Terdiri dari 1 RW dan 3 RTDusun Tambakoso
- Terdiri dari 1 RW dan 3 RT
Jarak Tempuh
Jarak dari Desa Warungering ke Kantor Kecamatan Kedungpring: ±1 km (±30 menit perjalanan kaki)
Jarak dari Desa Warungering ke Ibu Kota Kabupaten Lamongan: ±20 km (±1 jam perjalanan)




